A.
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan suatu proses yang mencakup tiga dimensi, individu, masyarakat atau
komunitas nasional dari individu tersebut, dan seluruh kandungan realitas, baik
material maupun spiritual yang memainkan peranan dalam menentukan sifat, nasib,
bentuk manusia maupun masyarakat (Nurkholis, 2013). Berdasarkan
(UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan
lebih dari sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses
transfer ilmu, transformasi nilai, dan pembentukan kepribadian dengan segala
aspek yang dicakupnya. Dengan demikian pengajaran lebih berorientasi pada
pembentukan spesialis atau bidang-bidang tertentu, oleh karena itu perhatian
dan minatnya lebih bersifat teknis. Penyelenggaraan pendidikan diperlukan untuk
mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan dalam perkembangan individu maupun
masyarakat. Penekanan pendidikan dibanding dengan pengajaran terletak pada
pembentukan kesadaran dan kepribadian individu atau masyarakat di samping
transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini suatu bangsa atau negara
dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian
kepada generasi berikutnya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong masa
depan kehidupan bangsa dan negara yang lebih cerah.
Dalam
penyelenggaraan proses pendidikan tentunya terdapat banyak kendala atau
hambatan yang ditemui. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang teori-teori yang
mendasari yaitu pemahaman teori tentang filsafat. Filsafat diakui sebagai induk
ilmu pengetahuan ( the mother of sciences
) yang mampu menjawab segala pertanyaan dan permasalahaan. Mulai dari
masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia
dengan segala problematika dan kehidupanya. Di antara permasalahan yang dapat
dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan.
Filsafat merupakan teori umum dan landasan pertanyaan dan menyelidiki
faktor-faktor realita dan pengalaman yang terdapat dalam pengalaman pendidikan
Apa yang dikatakan John Dewey memang benar. Karena itu filsafat dan pedidikan
memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, filsafat pendidikan yang berusaha
menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosifis
dan memerlukan jawaban secara filosofis.
Filsafat
bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawabanjawaban filsafat
bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan adalah keadaan
seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha untuk
mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan pandangan sebagai jawaban dari
pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan berlaku umum, tidak terbatas
ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba mengajukan suatu konsep
tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya) secara sistematis. Selain
itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena
manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup bermasyarakat
dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal ini yang
disebut filsafat atau pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila
merupakan filsafat bangsa.
Suatu
masyarakat atau bangsa menjadikan filsafat sebagai suatu pandangan hidup yaitu
merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan
bangsa tersebut, tanpa terkecuali aspek pendidikan. Filsafat yang dikembangkan
harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa, sedangkan pendidikan
merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai
filsafat tersebut. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan
dan mewariskan sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada
dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam
suatu masyarakat. Untuk menjamin supaya pendidikan dan prosesnya efektif, maka
dibutuhkan landasan-llandasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas
normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan (Syam, 1988).
Demikian
pula halnya dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk memahami pendidikan
secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum
yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan
pendidikan. Dengan cara yang sama, filsafat umum mengkoordinasikan
temuan-temuan dari berbagai cabang ilmu, dan filsafat pendidikan menafsirkan temuan-temuan
ini untuk digunakan dalam bidang pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak memiliki
implikasi langsung dalam pendidikan; teori-teori ini tidak dapat langsung
diterapkan dalam praktik pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara
filsafati. Teori filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang pendidikan.
Teori tersebut tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Di samping teori
filsafat pendidikan, ada pula teori ilmu pendidikan. Teori ini adalah teori
rasional dan ada bukti empiris tentang pendidikan (Tafsir, 2010).
Selanjutnya
Kneller dalam (Rukiyati & & Purwastuti, 2015) juga mengatakan
bahwa filsafat pendidikan bersandar pada filsafat umum atau filsafat formal;
artinya masalah-masalah pendidikan juga merupakan bagian dari cara berpikir
filsafat secara umum. Seseorang tidak dapat memberikan kritik pada kebijakan
pendidikan yang ada atau menyarankan kebijakan yang baru tanpa memikirkan
masalah-masalah filsafati yang umum seperti hakikat kehidupan yang baik sebagai
arah yang akan dituju oleh pendidikan, kodrat manusia itu sendiri, sebab yang
dididik itu adalah manusia; dan yang dicari adalah hakikat kenyataan yang
terdalam, yang menjadi pencarian semua cabang ilmu. Oleh karena itu, filsafat
pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan.
B.
Peran
Filsafat Pada Pendidikan Nasional
Pendidikan
dilakukan oleh manusia melalui kegiatan pembelajaran. Dalam praktik pendidikan
yang universal banyak ditemukan beragam komunitas dari manusia yang memberikan
makna yang beragam dari pendidikan. Proses pendidikan di Indonesia di tekankan
pada penguasaan landasan terbentuknya masyarakat meritorik, artinya memberikan
waktu jam pelajaran yang luas dalam penguasaan mata pelajaran tertentu
(Awaludin Azmi: 2018).
Menurut
Dewey dalam Garrison, et all (2012) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang
sangat luas diartikan sebagai cara atau jalan bagi keberlangsungan kehidupan
sosial. Setiap orang adalah bagian dari kelompok sosial yang terlahir dalam
kondisi belum memiliki perangkat-perangkat kehidupan sosial seperti bahasa,
keyakinan, ide-ide ataupun norma-norma sosial. Keberlangsungan kehidupan sosial
itulah yang menjadi pengalaman hidup manusia. Selengkapnya, Dewey mengatakan
sebagai berikut.
Education,
in its broadest sense, is the means of this social continuity of life. Everyone
of the constituent elements of a social group, in a modern city as in a savage
tribe, is born immature, helpless, without language, beliefs, ideas, or social
standards. Each individual, each unit who is the carrier of the life-experience
of his group, in time passes away.Yet the life of the group goes on.
Menurut
(Amka: 2019) menjelaskan bahwa pendidikan dapat ditinjau dari dua segi. Pertama
pendidikan dari sudut pandangan masyarakat di mana pendidikan berarti pewarisan
kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda yang bertujuan agar hidup
masyarakat tetap berlanjut, atau dengan kata lain agar suatu masyarakat
mempunyai nilai-nilai budaya yang senantiasa tersalurkan dari generasi ke
generasi dan senantiasa terpelihara dan tetap eksis dari zaman ke zaman. Kedua
pendidikan dari sudut pandang individu di mana pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri setiap individu sebab
individu bagaikan lautan yang penuh dengan keindahan yang tidak tampak, itu
dikarenakan terpendam di dasar laut yang paling dalam. Dalam diri setiap
manusia memiliki berbagai bakat dan kemampuan yang apabila dapat dipergunakan
dengan baik, maka akan berubah menjadi intan dan permata yang keindahannya
dapat dinikmati oleh banyak orang dengan kata lain bahwa setiap individu yang
terdidik akan bermanfaat bagi manusia lainnya.
Filsafat
pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung
pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik
melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan jenis
pendidikan. Ada dua pandanagan yang menurut (Jumali, dkk, 2004:54), perlu
dipertimbangkan dalam menetukan landasan filosofis dalam pendidikan nasional
Indonesia. Pertama, pandangan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan
nasional memandang bahwa manusia Indonesia sebagai:
1. Makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya
2. Makhluk
individu dengan segala hal dan kewajibannya
3. Makhluk
sosial dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang pluralistik
baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang
senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.
Kedua, Pandangan tentang pendidikan nasional itu
sendiri. Dalam pandangan filosofis pendidikan nasional dipandang sebagai
pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lainnya dalam
masyarakat.
Tujuan
filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran
tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat
pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian
kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta
didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari
teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni
menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas
dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan
praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.
Menurut
John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar
yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya
perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia, maka filsafat juga
diartikan sebagai teori umum pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara
bebas dengan memperoleh keuntungan karena memiliki kaitan dengan filsafat umum,
meskipun kaitan tersebut tidak penting, yang terjadi adalah suatu keterpaduan
antara pandangan filosofi dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering
diartikan sebagai teori pendidikan secara umum (Arifin, 1993).
Pendidikan
merupakan usaha sadar yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan
potensi dan kemampuan anak agar bermanfat bagi kepentingan hidupnya sebagai
individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan dipandang mempunyai peranan
yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak. Dalam sejarah
pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai perkembangan
manusia dan hasil pendidikan, seperti :
1. Empirisme,
bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman yang
diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar
dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat
bahwa anak yang dilahirkan di dunia ini bagaikan kertas kosong atau sebagai
meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan diatasnya.
2. Nativisme,
teori yang dianut oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan
pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan, ia
berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh
pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa
pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan
perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran
Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada
tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.
3. Naturalisme,
dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir
mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan pembawaan
buruk. Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan
anak didik saja dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada alam
(negativisme). Pendidikan tidak diperlukan, yang dilaksanakan adalah
menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik tidak rusak oleh
tangan manusia melalui proses pendidikan.
4. Konvergensi,
dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan
pembawaan baik dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan dan
lingkungan. Pendidikan diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada
lingkugan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah
berkembangnya pembawan yang buruk.
Dalam
kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk
menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa. Indonesia adalah
negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang- Undang dasar 1945 yang di
dalamnya diatur bahwa pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah
sebagai satu sistem pengajaran nasional. Aristoteles mengatakan, bahwa tujuan
pendidikan sama dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988). Demikian
juga dengan Indonesia. Pendidikan selain sebagai sarana tranfer ilmu pengetahuan,
sosial budaya juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi bangsa kepada
generasi selanjutnya.
Pendidikan
suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu bangsa yang
dianutnya. Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk
mencari kebenaran, filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan
berdasarkan filsafat. Karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia wajar apabila
dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas suatu bangsa. Cita dan karsa
bangsa Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanl
yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi
tertentu.
C.
Upaya
Membangun Filsafat Dalam Pendidikan Modern
Pendidikan
merupakan suatu isu yang senantiasa menarik untuk dikaji, sepanjang masih ada
kehidupan manusia di planet bumi ini. Semua bangsa di dunia pasti
berkepentingan dengan pendidikan, sebab dengan pendidikan manusia dapat
mengembangkan budayanya dan mewariskannya kepada generasi penerus mereka,
sehingga pendidikan sering disebut juga sebagai agent of culture. Karena dengan
pendidikan, manusia dapat menentukan sikap dan perilaku serta langkah ke depan
yang harus diambil. Perubahan yang dialami melalui proses pendidikan senantiasa
beraturan dan terukur, bukan atas emosi dan ketergesa-gesaan yang dialami oleh
manusia.
Filsafat
pendidikan berusaha menjelaskan banyak makna yang berbeda yang berhubungan
dengan istilah-istilah yang banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti
kebebasan, penyesuaian, pertumbuhan, pengalaman, kebutuhan, dan pengetahuan.
Penjernihan istilah-istilah akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakiki, maka
kajian filsafat tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang filsafat yang bernama
metafisika atau ontologi. Ontologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat
pendidikan. Selain itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan pula
landasan epistemologis dan landasan aksiologis (Rukiyati: 2015).
1. Landasan
Ontologi Pendidikan
Ontologi
merupakan bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari
metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah
ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi
membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang
dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.
Ditinjau
dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris.
Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh
panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah
berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat
dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri
tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris (Amka: 2019).
Landasan
ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan landasan
filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu. Misalnya,
pendidikan secara ilmiah ditujukan untuk mensistematisasikan konsep- konsep dan
praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis menjadi suatu bentuk
pengetahuan tersendiri yang disebut Ilmu Pendidikan. Pengetahuan ilmiah
mengenai pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati
mengenai manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, pandangan tentang alam
semesta; tempat manusia hidup bersama, dan pandangan tentang Tuhan sebagai
pencipta manusia dan alam semesta tersebut (Rukiyati: 2015).
Pendidikan
merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya
pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal
penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pendidikan dapat membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi
jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna ontologi
dalam pendidikan itu sendiri merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu
pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari
mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu.
Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang
mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan
menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah terletak
undang-undang dasarnya dunia ilmu (Mubin: 2020).
2. Landasan
Epistemologi Pendidikan
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan.
Epistemologi sangat penting bagi para pendidik. Akinpelu (Dalam Rukayati: 2015)
mengatakan bahwa area kajian epistemologi ada relevansinya dengan pendidikan,
khususnya untuk kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Pencarian akan
pengetahuan dan kebenaran adalah tugas utama baik dalam bidang
filsafat/epistemologi maupun pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dewey,
hanya saja antara epistemologi dan pendidikan terdapat perbedaan dalam hal
prosesnya. Pendidikan sebagai proses memusatkan perhatiannya pada penanaman
pengetahuan oleh guru dan perolehannya oleh peserta didik, sedangkan
epistemologi menggali lebih dalam sampai pada akarnya pengetahuan.
Guru-guru
di dalam kelas memberikan berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin
ilmunya masing-masing. Akan baik bagi seorang guru mengetahui berbagai jenis
pengetahuan yang diberikannya, apa sumber pengetahuan tersebut, dan bagaimana
tingkat kepercayaan kita pada pengetahuan tersebut. Penting dan menjadi
keharusan bagi guru untuk mengetahui jenis pengetahuan dalam disiplin ilmunya
yang diberikan kepada murid-muridnya. Hal ini akan membantu guru untuk
menyeleksi bahan ajar dan penekanannya pada materi tertentu dalam mengajar.
Epistemologi
membahas konsep dasar dan sangat umum dari proses mengetahui, sehingga erat
kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Banayak sekali kita
dijumpai di lapangan bahwa terdapat guru atau pengajar yang memiliki prinsip
dan keyakinan guru tersebut dalam menjalankan proses pembelajaranya disekolah
masing-masing. Tentunya ini menjadi perhatian bahwa karakterstik atau kondisi
baik tu satuan oendidikanya, siswanya, sarana prasaraa, letak geografis mnejadi
dasar kenapa guru melaksanakan proses pembelajaran yang mereka yakini bahwa
cara itu paling efektif untuk diterapkan.
Menurut
(Rukayati: 2015) dapat diketahui bahwa dalam kegiatan pendidikan sangat erat
dengan epistemologi karena pendidikan selalu berkaitan dengan pemberian
pengetahuan oleh pendidik, dan penerimaannya, serta pengembangannya oleh
peserta didik. Dalam setiap pengetahuan yang disampaikan oleh guru dengan
berbagai disiplin ilmu masing-masing terdapat dasar epistemologinya
sendiri-sendiri.
3. Landasan
Aksiologis Pendidikan
Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan berusaha
menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang baik. Bagian
dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada kajian filsafati
tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan dengan
kajian nilai-nilai keindahan dan seni. Metafisika membahas tentang hakikat
kenyataan terdalam, sedangkan aksiologi menunjuk pada preskripsi perilaku moral
dan keindahan. Para pendidik selalu memperhatikan masalahmasalah yang berkaitan
dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri para subjek didik dan mendorong ke
arah perilaku yang bernilai (Gutek dalam Rukayati: 2015).
Secara
tidak langsung landasan aksiologis pendidikan tecermin di dalam perumusan tujuan
pendidikan. Tatkala orang merancang pendidikan, maka ia harus memulainya dengan
merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan didasarkan oleh
nilai-nilai yang diyakini yang berusaha untuk diwujudkan tindakan nyata. Thomas
Armstrong (2006: 39) mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendukung,
mendorong, dan memfasilitasi perkembangan subjek didik sebagai manusia yang
utuh (a whole human being). Hal itu
dapat diartikan bahwa menurut Armstrong pendidikan harus dilandasi oleh
nilai-nilai kehidupan yang bersifat holistik sehingga pendidikan yang ingin
diwujudkan adalah pendidikan yang bersifat holistik pula.
Dalam
konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengamanatkan tujuan pendidikan yang meliputi banyak aspek, baik
individual maupun sosial, jasmaniah dan rohaniah. Tujuan pendidikan dilandasi
oleh nilai-nilai filosofis yang bersifat holistik, yaitu nilainilai Pancasila.
Di dalam pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia 31 yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, ada
nilai-nilai kehidupan yang berdimensi horizontal dan vertikal yang terkandung
di dalam tujuan pendidikan tersebut.
Menurut
Marsigit (2010) secara umum, pendidikan karakter harus mampu menjelaskan
hakekat karakter, implementasi dan contoh-contohnya; menjelaskan sumber-sumber
pengetahuan dan nilai-nilai dan macam-macam karakter yang harus digali dan
dikembangkan, ukuran atau pembenaran kelaziman karakter dalam lingkup pribadi,
kelompok, berbangsa maupun secara universal. Jika karakter dipandang sebagai
nilai yang perlu digali, dikembangkan dan diimplementasikan, maka konteks ruang
dan waktu serta arah pengembangannya menjadi sangat penting. (Rukayati: 2015)
bahwa landasan aksiologis ilmu pendidikan adalah konsep nilai yang diyakini
yang dijadikan landasan atau dasar dalam teori dan praktik pendidikan
D.
Urgensi
Filsafat Dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran merupakan kegiatan yang paling penting sebagai upaya dalam
mensukseskan penyelenggaraan pendidikan di negara Indonesia. Pembelajaran
memiliki peranan penting karena di dalam proses tersebut terjadi interaksi
antara guru dengan siswa dalam transfer
knowledge. Tentunya pemahaman-pemahaman dasar teoritis terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan harus dikuasai oleh seluruh komponen yang ada di
satuan pendidikan mulai dari kepala sekolah hingga level paling bawah. Hal ini
dimaksudkan agar terjadinya pelayanan pembelajaran yang baik selama siswa
melaksanakan proses egiatan belajar mengajar di satuan pendidikan tersebut.
Prinsip
dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Metode ini di
gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk
mendorong seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk
memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan
atau pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa dituntut untuk
bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis.
Pelaksanaan
pembelajaran yang dikemukakan oleh Socrates di atas menginstruksikan kepada
seluruh gur atau tenaga pengajar untuk mampu memfasilitasi siswa dalam hal
pembelajaran agar terlatih dalam berfiir kritis. Dalam hal ini, inovasi dan
kreativitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dituntut untuk selalu
melibatkan siswa dalam mengkonstruk pembelajaranya (Marsigit: 2019). Metode ini
tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan
kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan
pendidikan yang benar adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan
disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus
menerus dan standar moral yang tinggi.
Pandangan
Plato tentang pendidikan yaitu pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya
selaku individu maupun sebagai warga negara. Dalam hal ini, Plato menjelaskan
bahwa negara selaku unsur tertinggi yang bertanggung jawab dalam hal
penyelenggaraan pendidikan harus serius agar semua warga mendapatkan pelayanan
pendidikan yang terbaik. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga
negaranya. Hal ini sesuai dengan isi dari Pasal 31 Undang-Undang Dasar
1945 menjelaskan bahwa pendidikan
merupakan hak bagi setiap warga negara. Untuk itu, negara harus hadir ketika
ada permasalahan yang berkaitan dengan warga negara yang belum mendapatkan
pendidikan sebagaimana yang telah diamantkan oleh UUD 1945.
Selain
itu, konsep Plato dalam hal penerapan pendidikan yaitu setiap peserta didik
harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan
masing-masing jenjang usianya. Menurut Fatimah Ibda (2015) menjelaskan bahwa
tingkatan perkembangan intelektual manusia mempengaruhi kedewasaan, pengalaman
fisik, pengalaman logika, transmisi sosial dan pengaturan sendiri. Teori Piaget
jelas sangat relevan dalam proses perkembangan kognitif anak, karena dengan
menggunakan teori ini, manusia dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan
tertentu pada kemampuan berpikir anak di levelnya. Dengan demikian bila
dikaitkan dengan pembelajaran kita bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi
anak, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa sesuai dengan tahap
perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh anak. Sehingga pendidikan
itu sendiri memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan
negara.
Idealnya
dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapatkan
perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena
pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu
ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan
mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula,
orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan
apa yang tidak patut (Raper: 1988).
Untuk itu perlu kita pahami pentingnya filsafat
dalam praktik pendidikan di negara kita. Keberadaan filsafat pendidikan memiiki
tujuan untuk memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran
tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat
pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian
kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta
didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari
teori-teori pendidikan. Sedangkan peranan filsafat pendidikan dalam praktik
pendidikan di negara kita memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan
pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan
mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan praktik di lapangan
dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik (Azmi: 2019).
Muara dari berbagai proses kegiatan adalah akan
tercapainya tujuan yang sudah direncanakan. Penyelenggaraan pendidikan di suatu
negara tentunya harapanya adalah tujuan pendidikan yang direncanakan dapat
tercapai secara maksimal. Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003
kemudian dijabarkan ke dalam tujuan pendidikan yaitu terdapat empat macam
tujuan pendidikan yang tingkatan dan luasnya berlainan, yaitu tujuan pendidikan
nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.
a. Tujuan
Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan
nasional yaitu membangun kualitas yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan
selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang
berjiwa pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi
pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dan dapat
mengembangkan dan menyuburkan tingkat demokrasi, dapat memelihara hubungan yang
baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu
mengembangkan daya estetika, sanggup membangun diri dan masyarakat.
b. Tujuan
Institusional
Tujuan institusional
adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.
c. Tujuan
Kurikuler
Tujuan Kurikuler yaitu
untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu lembaga, yang sebenarnya merupakan tujuan
institusional dari bagan pendidikan tersebut.
d. Tujuan
instruksional
Tujuan
instruksional adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai
oleh siswa dan anak didik sesudah melewati kegiatan instruksional yang
bersangkutan dengan berhasil.
Daftar Pustaka
Amka.
2019. Filsafat Pendidikan. Nizamia Learning Center: Sidoarjo
Azmi,
Awaludin. 2018. Peranan Filsafat Pancasila Dalam Pengembangan Pendidikan
Nasional Dan Pembentukan Karakter Kebangsaan Indonesia Tinjauan Teoritis Dan
Praktis Tentang Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidpan Berbangsa Dan Bernegara.
Makalah Pendidikan
Ibda
Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita -
Volume 3, Nomor 1
Jim
Garrison, Stefan Neubert, and Kersten Reich. 2012. John Dewey ’s Philosophy of
Education. in the United States a division of St. Martin’s Press LLC
Mahfud.
2018. Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Islam.
CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1
Marsigit.
2004. Mengembangkan Nilai-Nilai Filosofis Matematika Dalam Pembelajaran
Matematika Menuju Era Global. Dipresentasikan pada Stadium Generale UIN
Marsigit.
2010. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Matematika. Jurusan
Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Nurkholis.
2013. Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi. JUrnal Kependidikan. Vol 1
No. 1
Rukiyati
dan Andriani Purwastuti. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Draf Buku.
Universitas Negeri Yogyakarta
Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Universitas
Pendidikan Indonesia