Sabtu, 18 Desember 2021

PENERAPAN FILSAFAT DI DALAM ERA PENDIDIKAN YANG SEMAKIN MODERN

 

A.    Pendahuluan

Pendidikan merupakan suatu proses yang mencakup tiga dimensi, individu, masyarakat atau komunitas nasional dari individu tersebut, dan seluruh kandungan realitas, baik material maupun spiritual yang memainkan peranan dalam menentukan sifat, nasib, bentuk manusia maupun masyarakat (Nurkholis, 2013). Berdasarkan (UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, yang dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu, transformasi nilai, dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Dengan demikian pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan spesialis atau bidang-bidang tertentu, oleh karena itu perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Penyelenggaraan pendidikan diperlukan untuk mendapatkan keseimbangan dan kesempurnaan dalam perkembangan individu maupun masyarakat. Penekanan pendidikan dibanding dengan pengajaran terletak pada pembentukan kesadaran dan kepribadian individu atau masyarakat di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini suatu bangsa atau negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi berikutnya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong masa depan kehidupan bangsa dan negara yang lebih cerah.

Dalam penyelenggaraan proses pendidikan tentunya terdapat banyak kendala atau hambatan yang ditemui. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang teori-teori yang mendasari yaitu pemahaman teori tentang filsafat. Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan ( the mother of sciences ) yang mampu menjawab segala pertanyaan dan permasalahaan. Mulai dari masalah-masalah yang berhubungan dengan alam semesta hingga masalah manusia dengan segala problematika dan kehidupanya. Di antara permasalahan yang dapat dijawab oleh filsafat adalah permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan. Filsafat merupakan teori umum dan landasan pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang terdapat dalam pengalaman pendidikan Apa yang dikatakan John Dewey memang benar. Karena itu filsafat dan pedidikan memiliki hubungan hakiki dan timbal balik, filsafat pendidikan yang berusaha menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosifis dan memerlukan jawaban secara filosofis.

Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawabanjawaban filsafat bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan adalah keadaan seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan pandangan sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan berlaku umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba mengajukan suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya) secara sistematis. Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Hal ini yang disebut filsafat atau pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa.

Suatu masyarakat atau bangsa menjadikan filsafat sebagai suatu pandangan hidup yaitu merupakan asas dan pedoman yang melandasi semua aspek hidup dan kehidupan bangsa tersebut, tanpa terkecuali aspek pendidikan. Filsafat yang dikembangkan harus berdasarkan filsafat yang dianut oleh suatu bangsa, sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat tersebut. Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat. Untuk menjamin supaya pendidikan dan prosesnya efektif, maka dibutuhkan landasan-llandasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas normatif dan pedoman pelaksanaan pembinaan (Syam, 1988).

Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama, filsafat umum mengkoordinasikan temuan-temuan dari berbagai cabang ilmu, dan filsafat pendidikan menafsirkan temuan-temuan ini untuk digunakan dalam bidang pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak memiliki implikasi langsung dalam pendidikan; teori-teori ini tidak dapat langsung diterapkan dalam praktik pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filsafati. Teori filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang pendidikan. Teori tersebut tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Di samping teori filsafat pendidikan, ada pula teori ilmu pendidikan. Teori ini adalah teori rasional dan ada bukti empiris tentang pendidikan (Tafsir, 2010).

Selanjutnya Kneller dalam (Rukiyati & & Purwastuti, 2015) juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan bersandar pada filsafat umum atau filsafat formal; artinya masalah-masalah pendidikan juga merupakan bagian dari cara berpikir filsafat secara umum. Seseorang tidak dapat memberikan kritik pada kebijakan pendidikan yang ada atau menyarankan kebijakan yang baru tanpa memikirkan masalah-masalah filsafati yang umum seperti hakikat kehidupan yang baik sebagai arah yang akan dituju oleh pendidikan, kodrat manusia itu sendiri, sebab yang dididik itu adalah manusia; dan yang dicari adalah hakikat kenyataan yang terdalam, yang menjadi pencarian semua cabang ilmu. Oleh karena itu, filsafat pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan.

 

B.    Peran Filsafat Pada Pendidikan Nasional

Pendidikan dilakukan oleh manusia melalui kegiatan pembelajaran. Dalam praktik pendidikan yang universal banyak ditemukan beragam komunitas dari manusia yang memberikan makna yang beragam dari pendidikan. Proses pendidikan di Indonesia di tekankan pada penguasaan landasan terbentuknya masyarakat meritorik, artinya memberikan waktu jam pelajaran yang luas dalam penguasaan mata pelajaran tertentu (Awaludin Azmi: 2018).

Menurut Dewey dalam Garrison, et all (2012) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang sangat luas diartikan sebagai cara atau jalan bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Setiap orang adalah bagian dari kelompok sosial yang terlahir dalam kondisi belum memiliki perangkat-perangkat kehidupan sosial seperti bahasa, keyakinan, ide-ide ataupun norma-norma sosial. Keberlangsungan kehidupan sosial itulah yang menjadi pengalaman hidup manusia. Selengkapnya, Dewey mengatakan sebagai berikut.

 

Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life. Everyone of the constituent elements of a social group, in a modern city as in a savage tribe, is born immature, helpless, without language, beliefs, ideas, or social standards. Each individual, each unit who is the carrier of the life-experience of his group, in time passes away.Yet the life of the group goes on.

 

Menurut (Amka: 2019) menjelaskan bahwa pendidikan dapat ditinjau dari dua segi. Pertama pendidikan dari sudut pandangan masyarakat di mana pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda yang bertujuan agar hidup masyarakat tetap berlanjut, atau dengan kata lain agar suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang senantiasa tersalurkan dari generasi ke generasi dan senantiasa terpelihara dan tetap eksis dari zaman ke zaman. Kedua pendidikan dari sudut pandang individu di mana pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi dalam diri setiap individu sebab individu bagaikan lautan yang penuh dengan keindahan yang tidak tampak, itu dikarenakan terpendam di dasar laut yang paling dalam. Dalam diri setiap manusia memiliki berbagai bakat dan kemampuan yang apabila dapat dipergunakan dengan baik, maka akan berubah menjadi intan dan permata yang keindahannya dapat dinikmati oleh banyak orang dengan kata lain bahwa setiap individu yang terdidik akan bermanfaat bagi manusia lainnya.

Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan jenis pendidikan. Ada dua pandanagan yang menurut (Jumali, dkk, 2004:54), perlu dipertimbangkan dalam menetukan landasan filosofis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, pandangan tentang manusia Indonesia. Filosofis pendidikan nasional memandang bahwa manusia Indonesia sebagai:

1.     Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya

2.     Makhluk individu dengan segala hal dan kewajibannya

3.     Makhluk sosial dengan segala tanggung jawab hidup dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.

Kedua, Pandangan tentang pendidikan nasional itu sendiri. Dalam pandangan filosofis pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lainnya dalam masyarakat.

Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik.

Menurut John Dewey, filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia, maka filsafat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan. Filsafat pendidikan itu berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena memiliki kaitan dengan filsafat umum, meskipun kaitan tersebut tidak penting, yang terjadi adalah suatu keterpaduan antara pandangan filosofi dengan filsafat pendidikan, karena filsafat sering diartikan sebagai teori pendidikan secara umum (Arifin, 1993).

Pendidikan merupakan usaha sadar yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfat bagi kepentingan hidupnya sebagai individu dan sebagai warga masyarakat. Pendidikan dipandang mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak. Dalam sejarah pendidikan dapat dijumpai berbagai pandangan atau teori mengenai perkembangan manusia dan hasil pendidikan, seperti :

1.     Empirisme, bahwa hasil pendidikan dan perkembangan itu bergantung pada pengalaman yang diperoleh anak didik selama hidpnya. Pengalaman itu diperolehnya di luar dirinya berdasarkan perangsang yang tersedia baginya, John Locke berpendapat bahwa anak yang dilahirkan di dunia ini bagaikan kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (tabula rasa) yang belum ada tulisan diatasnya.

2.     Nativisme, teori yang dianut oleh Schopenhauer yang berpendapat bahwa bayi lahir dengan pembawan baik dan pembawan yang buruk. Dalam hubungannya dengan pendidikan, ia berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan itu ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperolehnya sejak lahir. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan berhubungan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran Pesimisme dalam pendidikan, berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimilikinya.

3.     Naturalisme, dipelopori oleh J.J Rousseau, ia berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak seorang anakpun lahir dengan pembawaan buruk. Aliran ini berpendapat bahwa pendidik hanya wajib membiarkan pertumbuhan anak didik saja dengan sendirinya, diserahkan saja selanjutnya kepada alam (negativisme). Pendidikan tidak diperlukan, yang dilaksanakan adalah menyerahkan anak didik ke alam, agar pembawaan yang baik tidak rusak oleh tangan manusia melalui proses pendidikan.

4.     Konvergensi, dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan pembawaan baik dan buruk. Hasil pendidikan itu bergantung dari pembawaan dan lingkungan. Pendidikan diartikan sebagai penolong yang diberikan kepada lingkugan anak didik untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah berkembangnya pembawan yang buruk.

Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang- Undang dasar 1945 yang di dalamnya diatur bahwa pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran nasional. Aristoteles mengatakan, bahwa tujuan pendidikan sama dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988). Demikian juga dengan Indonesia. Pendidikan selain sebagai sarana tranfer ilmu pengetahuan, sosial budaya juga merupakan sarana untuk mewariskan ideologi bangsa kepada generasi selanjutnya.

Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu bangsa yang dianutnya. Filsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang pendidikan berdasarkan filsafat. Karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia wajar apabila dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas suatu bangsa. Cita dan karsa bangsa Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanl yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu.

C.    Upaya Membangun Filsafat Dalam Pendidikan Modern

Pendidikan merupakan suatu isu yang senantiasa menarik untuk dikaji, sepanjang masih ada kehidupan manusia di planet bumi ini. Semua bangsa di dunia pasti berkepentingan dengan pendidikan, sebab dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan budayanya dan mewariskannya kepada generasi penerus mereka, sehingga pendidikan sering disebut juga sebagai agent of culture. Karena dengan pendidikan, manusia dapat menentukan sikap dan perilaku serta langkah ke depan yang harus diambil. Perubahan yang dialami melalui proses pendidikan senantiasa beraturan dan terukur, bukan atas emosi dan ketergesa-gesaan yang dialami oleh manusia.

Filsafat pendidikan berusaha menjelaskan banyak makna yang berbeda yang berhubungan dengan istilah-istilah yang banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti kebebasan, penyesuaian, pertumbuhan, pengalaman, kebutuhan, dan pengetahuan. Penjernihan istilah-istilah akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakiki, maka kajian filsafat tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang filsafat yang bernama metafisika atau ontologi. Ontologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat pendidikan. Selain itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan pula landasan epistemologis dan landasan aksiologis (Rukiyati: 2015).

1.     Landasan Ontologi Pendidikan

Ontologi merupakan bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.

Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris (Amka: 2019).

Landasan ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan landasan filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu. Misalnya, pendidikan secara ilmiah ditujukan untuk mensistematisasikan konsep- konsep dan praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis menjadi suatu bentuk pengetahuan tersendiri yang disebut Ilmu Pendidikan. Pengetahuan ilmiah mengenai pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati mengenai manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, pandangan tentang alam semesta; tempat manusia hidup bersama, dan pandangan tentang Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta tersebut (Rukiyati: 2015).

Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna ontologi dalam pendidikan itu sendiri merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah terletak undang-undang dasarnya dunia ilmu (Mubin: 2020).

2.     Landasan Epistemologi Pendidikan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan. Epistemologi sangat penting bagi para pendidik. Akinpelu (Dalam Rukayati: 2015) mengatakan bahwa area kajian epistemologi ada relevansinya dengan pendidikan, khususnya untuk kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Pencarian akan pengetahuan dan kebenaran adalah tugas utama baik dalam bidang filsafat/epistemologi maupun pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Dewey, hanya saja antara epistemologi dan pendidikan terdapat perbedaan dalam hal prosesnya. Pendidikan sebagai proses memusatkan perhatiannya pada penanaman pengetahuan oleh guru dan perolehannya oleh peserta didik, sedangkan epistemologi menggali lebih dalam sampai pada akarnya pengetahuan.

Guru-guru di dalam kelas memberikan berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing. Akan baik bagi seorang guru mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber pengetahuan tersebut, dan bagaimana tingkat kepercayaan kita pada pengetahuan tersebut. Penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk mengetahui jenis pengetahuan dalam disiplin ilmunya yang diberikan kepada murid-muridnya. Hal ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan ajar dan penekanannya pada materi tertentu dalam mengajar.

Epistemologi membahas konsep dasar dan sangat umum dari proses mengetahui, sehingga erat kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Banayak sekali kita dijumpai di lapangan bahwa terdapat guru atau pengajar yang memiliki prinsip dan keyakinan guru tersebut dalam menjalankan proses pembelajaranya disekolah masing-masing. Tentunya ini menjadi perhatian bahwa karakterstik atau kondisi baik tu satuan oendidikanya, siswanya, sarana prasaraa, letak geografis mnejadi dasar kenapa guru melaksanakan proses pembelajaran yang mereka yakini bahwa cara itu paling efektif untuk diterapkan.

Menurut (Rukayati: 2015) dapat diketahui bahwa dalam kegiatan pendidikan sangat erat dengan epistemologi karena pendidikan selalu berkaitan dengan pemberian pengetahuan oleh pendidik, dan penerimaannya, serta pengembangannya oleh peserta didik. Dalam setiap pengetahuan yang disampaikan oleh guru dengan berbagai disiplin ilmu masing-masing terdapat dasar epistemologinya sendiri-sendiri.

3.     Landasan Aksiologis Pendidikan

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan berusaha menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang baik. Bagian dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada kajian filsafati tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan dengan kajian nilai-nilai keindahan dan seni. Metafisika membahas tentang hakikat kenyataan terdalam, sedangkan aksiologi menunjuk pada preskripsi perilaku moral dan keindahan. Para pendidik selalu memperhatikan masalahmasalah yang berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri para subjek didik dan mendorong ke arah perilaku yang bernilai (Gutek dalam Rukayati: 2015).

Secara tidak langsung landasan aksiologis pendidikan tecermin di dalam perumusan tujuan pendidikan. Tatkala orang merancang pendidikan, maka ia harus memulainya dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan didasarkan oleh nilai-nilai yang diyakini yang berusaha untuk diwujudkan tindakan nyata. Thomas Armstrong (2006: 39) mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi perkembangan subjek didik sebagai manusia yang utuh (a whole human being). Hal itu dapat diartikan bahwa menurut Armstrong pendidikan harus dilandasi oleh nilai-nilai kehidupan yang bersifat holistik sehingga pendidikan yang ingin diwujudkan adalah pendidikan yang bersifat holistik pula.

Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan tujuan pendidikan yang meliputi banyak aspek, baik individual maupun sosial, jasmaniah dan rohaniah. Tujuan pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang bersifat holistik, yaitu nilainilai Pancasila. Di dalam pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia 31 yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, ada nilai-nilai kehidupan yang berdimensi horizontal dan vertikal yang terkandung di dalam tujuan pendidikan tersebut.

Menurut Marsigit (2010) secara umum, pendidikan karakter harus mampu menjelaskan hakekat karakter, implementasi dan contoh-contohnya; menjelaskan sumber-sumber pengetahuan dan nilai-nilai dan macam-macam karakter yang harus digali dan dikembangkan, ukuran atau pembenaran kelaziman karakter dalam lingkup pribadi, kelompok, berbangsa maupun secara universal. Jika karakter dipandang sebagai nilai yang perlu digali, dikembangkan dan diimplementasikan, maka konteks ruang dan waktu serta arah pengembangannya menjadi sangat penting. (Rukayati: 2015) bahwa landasan aksiologis ilmu pendidikan adalah konsep nilai yang diyakini yang dijadikan landasan atau dasar dalam teori dan praktik pendidikan

D.    Urgensi Filsafat Dalam Pendidikan dan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling penting sebagai upaya dalam mensukseskan penyelenggaraan pendidikan di negara Indonesia. Pembelajaran memiliki peranan penting karena di dalam proses tersebut terjadi interaksi antara guru dengan siswa dalam transfer knowledge. Tentunya pemahaman-pemahaman dasar teoritis terkait dengan penyelenggaraan pendidikan harus dikuasai oleh seluruh komponen yang ada di satuan pendidikan mulai dari kepala sekolah hingga level paling bawah. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya pelayanan pembelajaran yang baik selama siswa melaksanakan proses egiatan belajar mengajar di satuan pendidikan tersebut.

Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Metode ini di gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang direncanakan untuk mendorong seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa dituntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara kritis.

Pelaksanaan pembelajaran yang dikemukakan oleh Socrates di atas menginstruksikan kepada seluruh gur atau tenaga pengajar untuk mampu memfasilitasi siswa dalam hal pembelajaran agar terlatih dalam berfiir kritis. Dalam hal ini, inovasi dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dituntut untuk selalu melibatkan siswa dalam mengkonstruk pembelajaranya (Marsigit: 2019). Metode ini tidak lain digunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan disiplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan standar moral yang tinggi.

Pandangan Plato tentang pendidikan yaitu pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun sebagai warga negara. Dalam hal ini, Plato menjelaskan bahwa negara selaku unsur tertinggi yang bertanggung jawab dalam hal penyelenggaraan pendidikan harus serius agar semua warga mendapatkan pelayanan pendidikan yang terbaik. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga negaranya. Hal ini sesuai dengan isi dari Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945  menjelaskan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara. Untuk itu, negara harus hadir ketika ada permasalahan yang berkaitan dengan warga negara yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana yang telah diamantkan oleh UUD 1945.

Selain itu, konsep Plato dalam hal penerapan pendidikan yaitu setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan masing-masing jenjang usianya. Menurut Fatimah Ibda (2015) menjelaskan bahwa tingkatan perkembangan intelektual manusia mempengaruhi kedewasaan, pengalaman fisik, pengalaman logika, transmisi sosial dan pengaturan sendiri. Teori Piaget jelas sangat relevan dalam proses perkembangan kognitif anak, karena dengan menggunakan teori ini, manusia dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak di levelnya. Dengan demikian bila dikaitkan dengan pembelajaran kita bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi anak, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh anak. Sehingga pendidikan itu sendiri memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan negara.

Idealnya dalam sebuah negara pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapatkan perhatian yang sangat mulia, maka ia harus diselenggarakan oleh negara. Karena pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tindakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut (Raper: 1988).

Untuk itu perlu kita pahami pentingnya filsafat dalam praktik pendidikan di negara kita. Keberadaan filsafat pendidikan memiiki tujuan untuk memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Sedangkan peranan filsafat pendidikan dalam praktik pendidikan di negara kita memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan, dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik (Azmi: 2019).

Muara dari berbagai proses kegiatan adalah akan tercapainya tujuan yang sudah direncanakan. Penyelenggaraan pendidikan di suatu negara tentunya harapanya adalah tujuan pendidikan yang direncanakan dapat tercapai secara maksimal. Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 kemudian dijabarkan ke dalam tujuan pendidikan yaitu terdapat empat macam tujuan pendidikan yang tingkatan dan luasnya berlainan, yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional.

a.     Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan nasional yaitu membangun kualitas yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan selalu dapat meningkatkan kebudayaan dengan-Nya sebagai warga negara yang berjiwa pancasila yang mempunyai semangat dan kesadaran yang tinggi, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian yang kuat, cerdas, terampil, dan dapat mengembangkan dan menyuburkan tingkat demokrasi, dapat memelihara hubungan yang baik antara sesama manusia dan dengan lingkungannya, sehat jasmani, mampu mengembangkan daya estetika, sanggup membangun diri dan masyarakat.

b.     Tujuan Institusional

Tujuan institusional adalah perumusan secara umum pola perilaku dan pola kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga pendidikan.

c.     Tujuan Kurikuler

Tujuan Kurikuler yaitu untuk mencapai pola perilaku dan pola kemampuan serta keterampilan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu lembaga, yang sebenarnya merupakan tujuan institusional dari bagan pendidikan tersebut.

d.     Tujuan instruksional

Tujuan instruksional adalah rumusan secara terperinci apa saja yang harus dikuasai oleh siswa dan anak didik sesudah melewati kegiatan instruksional yang bersangkutan dengan berhasil.

 

Daftar Pustaka

 

Amka. 2019. Filsafat Pendidikan. Nizamia Learning Center: Sidoarjo

Azmi, Awaludin. 2018. Peranan Filsafat Pancasila Dalam Pengembangan Pendidikan Nasional Dan Pembentukan Karakter Kebangsaan Indonesia Tinjauan Teoritis Dan Praktis Tentang Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kehidpan Berbangsa Dan Bernegara. Makalah Pendidikan

Ibda Fatimah. 2015. Perkembangan Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita - Volume 3, Nomor 1

Jim Garrison, Stefan Neubert, and Kersten Reich. 2012. John Dewey ’s Philosophy of Education. in the United States a division of St. Martin’s Press LLC

Mahfud. 2018. Mengenal Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Dalam Pendidikan Islam. CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman Volume 4, Nomor 1

Marsigit. 2004. Mengembangkan Nilai-Nilai Filosofis Matematika Dalam Pembelajaran Matematika Menuju Era Global. Dipresentasikan pada Stadium Generale UIN

Marsigit. 2010. Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

Nurkholis. 2013. Pendidikan Dalam Upaya Memajukan Teknologi. JUrnal Kependidikan. Vol 1 No. 1

Rukiyati dan Andriani Purwastuti. 2015. Mengenal Filsafat Pendidikan. Draf Buku. Universitas Negeri Yogyakarta

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar